“Lo… lo hamil beneran sekarang,” ujarnya dan segera memeluk badan Revan dengan kontol yang masih menancap.
“Makasih, bang. I love you,” ucap Revan dengan tulus sambil memeluk tubuh kekar abangnya.
“I love you, dek,” balasnya.
Revan merasakan lubangnya dipenuhi benda cair lengket yang tak lain dan tak bukan merupakan sperma Gerald. Gerald tak ingin segera mencabut kontolnya yang sudah tenggelam kedalam kenikmatan lubang Revan. Begitu pula dengan Revan, kontol Gerald yang menancap di lubangnya membuatnya merasa aneh dan nyaman sekaligus. Mereka berdua saling menyukainya.
Permainan panas mereka berakhir dan dilanjutkan dengan beristirahat. Gerald mencabut kontolnya yang mulai kembali melemas dan membiarkan lubang Revan kosong. Hal itu membuat Revan merasakan kekosongan di lubangnya. Pejuh yang ditanam oleh abangnya juga meluber keluar dan membasahi sprei kasur.
“Bang,” ucap Revan memulai pembicaraan.
“Ya?” jawab abangnya singkat.
“Tadi itu nikmat banget, gue suka. Makasih banyak, abang,” ucapnya dengan memeluk bisep abangnya.
“Sama-sama, dek,” ujarnya diakhiri dengan kecupan manis di dahi Revan.
Tanpa disadari, mereka berdua tertidur karena saking lelahnya. Tidak ada waktu untuk membersihkan diri, bahkan mengganti dengan pakaian bersih saja tidak. Keduanya tidur dalam keadaan telanjang seutuhnya. Mereka berdua tidur dalam satu selimut yang sama. Abangnya tidur terlentang, sedangkan Revan tidur dengan memeluk bisep abangnya.
“ABAAANG,” teriak Revan sesaat setelah ia bangun dari tidurnya.
Abangnya yang mempersiapkan makanan di dapur segera menuju kamar dengan terburu-buru. “Kenapa?” tanyanya dengan masih ngos-ngosan.
“Gimana caranya bangun? Sakiiit,” rintihnya.
“Oke, biar gue aja yang bersihin badan lo. Hari ini jangan kemana-mana, istirahat total di rumah. Senin juga istirahat di rumah, jangan keluyuran,” cerewet Gerald kepada Revan.
“Tapi kan Senin aku kuliah, bang,” protesnya.
Gerald menghela napas panjang dan memutar bola matanya, kemudian berkata “Hadeeh, Senin itu tanggal merah.”
“Oh iya hehehe,” tawanya malu.
Selesai bercakap-cakap, Gerald segera menggendong Revan ke kamar mandi. Sesampainya di sana, ia segera menyuruh Revan menungging dengan bertumpu pada wastafel. “Coba nungging biar gue bersihin lubang lo,” perintahnya.
Tangan Revan segera bertumpu di atas wastafel. Ia menungging, dan berusaha untuk melebarkan kakinya. Gerald kemudian jongkok menghadap pantat Revan dan berusaha untuk mengeluarkan pejuhnya sendiri.
“Tahan bentar ya, dek,” ucap Gerald memberi peringatan sambil menyibakkan pantat Revan.
Langsung saja pejuh yang sudah mendiami lubang Revan selama semalam itu menetes keluar. Pejuh putih dan kental itu keluar dengan banyaknya. “Sudah mendingan belum?” tanya Gerald memastikan apakah lubangnya sudah bersih apa belum.
“Bang, rasanya masih ada banyak. Coba keluarin juga,” pinta Revan yang masih merasakan ada pejuh yang mendiami lubangnya.
“Ini mungkin bakal sedikit sakit. Tahan, ya,” ucap Gerald sambil memasukkan jari telunjuknya. Jarinya segera mengobok-obok lubang Revan dan benar saja masih banyak pejuh yang belum keluar.
Jari Gerald yang mencoba untuk mengeluarkan pejuh malah membuat Revan horny. Jari abangnya tak sengaja menyentuh prostatnya. “Aaaahh, enak,” teriaknya saat prostatnya tersentuh.
Meski begitu Gerald tak menggubris Revan dan masih berusaha untuk membersihkan lubang penuh pejuhnya. Namun Revan tidak demikian, ia malah memaju mundurkan panggulnya agar jari Gerald menyentuh prostatnya lagi. Ia benar-benar merasakan kenikmatan.
“OOUUHH, gue… gue mau keluar lagi, aah,” teriak Revan.
Gerald tak ingin sperma Revan keluar sia-sia. Ia memposisikan tangannya untuk menjadi wadah bagi sperma Revan. Revan semakin menggila. Ia mempercepat gerakan panggulnya dan spermanya keluar.
Croooottt crooot
Tangan Gerald dengan sigap menampung sperma Revan. Setelah berhenti, ia menjilati sperma di tangannya hingga bersih. Tak hanya sampai di situ, Gerald mencium bibir Revan dan membagi sperma yang dijilatinya tadi.
“Ah, mmpphh. Abang! Udah ih, jangan main lagi,” ucap Revan segera setelah keluar dari ciuman abangnya.
“Ha ha ha. Yaudah sini abang mandiin.”
Setelah mandi dan bersih, Revan segera beristirahat dan memakan sup ayam buatan abangnya. Badannya menjadi hangat dan berakhir dengan diselimuti rasa kantuk. Udara dingin hari itu sangat mendukung untuk bermalas-malasan dan tetap di balik selimut.
“Hmm, dengerin podcast horor mantep nih buat pengantar tidur,” pikirnya.
Sementara Revan tertidur pulas, Gerald masih sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya. Hari ini ia sibuk melakukan evaluasi dengan kolega perusahaannya mengenai gym berkonsep “sexercise”. Konsep ini sudah lama ada namun hadirnya di tanah air sangat minim.
Sexercise gym yang dicanangkan oleh Gerald dan koleganya itu berada di wilayah hutan. Jadi pemandangan, udara, dan suasanya masih benar-benar alami. Dengan menjadikan anak muda yang memiliki harta berlebih sebagai target pasar, tentu bisnis ini sangat menjanjikan.
“Baik, Pak Gerald. Jadwal sudah kita tentukan dan minggu depan kita akan membicarakan ini secara empat mata. Terima kasih, saya izin untuk leave dari online meeting,” ucap kolega Gerald.
“Baik. Sama-sama, Pak Anggar. Saya juga berterima kasih dan semoga kerjasama ini bisa lancar dan berhasil,” ucap Gerald.
Rapat evaluasi pun berakhir dan kini Gerald dapat menikmati liburannya dengan tenang. Ia segera meninggalkan tumpukan berkas di ruangannya dan menuju tempat tidur adik tercintanya. Ia lihat adiknya tidur terlelap dengan sangat tenang. Karena merasa lelah, Gerald tidur di samping Revan sembari memeluknya.
Sudah seminggu lebih berlalu semenjak peristiwa panas itu terjadi.
Drrrtt drttt drttt…
Sebuah surel masuk ke kotak masuk G-mailnya. Sebuah pengumuman penting dari Imperial College London dengan subjek “Student Exchange Announcement” dan dikirim langsung oleh International Office of Imperial College London.
“Hapemu getar tuh,” ucap Gerald yang menyadarinya.
Kini mereka sedang memasak ayam geprek kesukaan Revan untuk makan malam. Namun sepertinya Revan terlalu fokus mengulek sambel hingga mengabaikan apa yang Gerald ucapkan. Matanya tertuju pada sambel buatannya yang bau harumnya menyebar ke seluruh dapur.
“Biarin deh bang, nanti aja Revan buka. Sekarang makan dulu yuk,” ajaknya.
Ayam geprek tersaji di atas meja makan. Ditemani dengan nasi hangat dan jeruk nipis peras, mereka makan dengan lahap. Pembicaraan tentang keseharian mengalir dan menjadi penghangat di antara keduanya.
Seorang kakak yang menyayangi adiknya dan adik yang mencintai kakaknya. Siapa sangka hubungan mereka begitu dekat dan erat seperti ini. Keluarga? Iya. Sahabat? Benar? Pasangan? Jelas.
Pagi hari yang seperti biasa. Gerald berolahraga sebelum pergi ke kantor gym. Sedangkan Revan mendengarkan lagu sambil memakan sarapan pagi. Santai, tenang, dan damai.
“Gak ngampus, dek?” tanya Gerald memecah kesunyian.
Revan pun menjawab “Gak, bang. Seminggu ini free. Emang kenapa?”
“Oh yaudah. Nanti malem abang ada surprise buat adek abang yang paling abang sayang,” ucapnya dengan tersenyum dan menyentuh hidung mungil Revan dengan telunjuknya.
“Hah? Serius? Apa tuh? Beneran?” tanya Revan meminta konfirmasi. Ia amat senang, kaget, dan perasaan campur aduk lainnya.
“Lah, nanti kalau dikasih tahu bukan surprise dong,” jawabnya nyengir dan segera pergi meninggalkan Revan. Ia kemudian melanjutkan sambil melambaikan ke arahnya. “Dadah, abang pergi ke kantor dulu.”
“Abaaaang,” panggil Revan dengan berteriak dan berlari menuju Gerald.
Setelah jarak abang dengan dirinya dekat, ia segera memeluk menciumnya. “Hati-hati, bang. Revan tunggu nanti malam,” ucapnya.
Setelahnya Revan segera berlari ke kamarnya. Ia meninggalkan Gerald yang masih dilanda kebingungan.
Revan’s POV
Ke mana sih bang Gerald ini? Udah jam setengah tujuh malam kok belum kelihatan juga. Apa macet ya? Hmm, kerjaannya lagi banyak kali ya. Sabar. Revan Sahr, sabaar.
Kira-kira hadiah apa ya? Mari kita tebak. Baju? Keknya nggak soalnya kemarin juga udah beli lewat toko ijo. Kalau outfit keknya bukan, deh. Makanan? Tapi biasanya juga beli makanan lewat ojol. Aduuh, apa ya?
Ah, apa hadiahnya itu —
Tok tok tok
Eh ada yang datang. Abang Gerald tuh. Ha ha haa. Panjang umuuur.
“Bentaaar, ini masih otw bang,” teriakku agar bang Gerald sabar menunggu.
Gue gak sabaaaar. Gue gak pernah se —
Hah? P-p-prajurit S-sp-sparta?
Author’s POV
Revan kaget sekaget-kagetnya. Ia tak menyangka bahwa apa yang dilihatnya adalah Prajurit Sparta. Prajurit gagah dengan tubuh yang terpahat indah. Pasukan elit yang begitu ditakuti sekaligus dihormati pada zamannya. Dan kini salah satu dari mereka berdiri di hadapan Revan.
Prajurit itu mempunyai tubuh yang sangat indah. Dada bidang dengan otot dada yang mencuat, abs yang keras dan terbentuk dengan sempurna, otot serratus yang saling berbaris, juga kaki yang kokoh. Semua keindahan ada di tubuh prajurit sparta ini. Tak lain dan tak bukan, prajurit sparta itu adalah Gerald.
“Bang? Ini lo kan?” tanya Revan mencari kejelasan.
“Benar. Mari kita bercinta hingga matahari terbit dan ayam berkokok,” jawab Gerald dengan sopan. Ia tenggelam dalam kisah yang diperankannya, kisah seorang prajurit kepada atasannya.
“Fuck me till the daylight, my spartan,” ujar Revan.
Kejutan yang dimaksud Gerald tadi pagi adalah kedatangan prajurit sparta yang siap untuk melayaninya. Gerald berpakaian khas seorang prajurit Sparta. Helm perang ditambah kain yang menutup kontol besarnya. Gagah. Sangat gagah.
Tak menunggu lama, Revan langsung digendongnya menuju kamar tidur Gerald. Tidak ada yang aneh dengan kamar tidur ini, namun Gerald mempunyai rencana lain yakni permainan BDSM.
“Gue punya mainan yang menarik buat kita mainin,” ucap Gerald di dekat telinga Revan.
“Apa tuh?”
Almari berwarna krem itu segera dibuka oleh Gerald. Tampak berbagai sex toy berada di sana. Mouth gag, nipple clamp, butt plug, vibrator, semua ada di sana. “Ini koleksi mainan gue. Mau nyoba?” ujarnya dengan membaringkan Revan di ranjang.
“Hmm, pertama-tama mari kita pilih mainan mana yang cocok untuk pembukaan,” ucap Gerald dengan sibuk mencari sex toy yang cocok.
Tanpa ragu, Revan segera mengambil borgol dan mendorong Gerald sampai abangnya itu tersungkur di tepi ranjang. “Seperti ini kah prajurit Sparta? Lemah dan pantas dihukum,” ucapnya sambil memborgol kedua tangan Gerald ke belakang.
“Argh, dek kok jadi gue yang jadi submissive. Rencana gue gak gini,” ucap Gerald yang masih tak terima sebab rencananya gagal. Ia berusaha untuk membebaskan tangannya dari borgol namun semuanya sia-sia.
Semakin abangnya meronta-ronta, Revan semakin menikmatinya. “Jangan banyak protes. Sekarang cepat berbaring di ranjang,” perintahnya yang sekarang menguasai permainan.
“Lepasin gue cepet! Atau…” Gerald tak melanjutkan kalimatnya karena sejujurnya ia tak tahu apa yang akan dilakukannya.
Revan mengernyit heran. “Atau apa?” tanyanya kembali.
“Atau emm…” Ia tak dapat menjawab pertanyaan dari Revan.
“ATAU APA?” teriak Revan sambil melucuti sabuk yang mengencangkan kain penutup selangkangannya.
Sabuk yang mengencangkan kain penutup kejantanan abangnya kini terlepas. Tanpa usaha ekstra, kain itu dengan mudahnya dicopot dan voila! Sebuah brief berwarna putih yang membungkus sang kejantanan terlihat.
“Jangan banyak nawar deh lo, bang. Gue bakal buat prajurit sparta ini keenakan,” ucapnya dengan menelanjangi dirinya sendiri.
Dalam keadaan terborgol dan masih mengenakan helm perang khas sparta, Gerald dipaksa untuk mengulum penis Revan yang masih tertidur. Sang prajurit yang tidak berdaya mengikuti permainan Revan. Perlahan-lahan penis Revan mengembang di dalam mulut Gerald.
“Aargh, mulut abang lembut dan hangat,” pujinya kepada abangnya. Tangannya juga mendorong agar penisnya masuk lebih dalam.
Gerald tak punya tenaga untuk memberontak. Napasnya tersengal, sedangkan tangannya terborgol. Meski permainan tidak sesuai dengan rencananya, ia tetap menikmatinya. Menjadi seorang submissive tidak seburuk yang dikiranya, bahkan ia menyukainya.
Ketika akan keluar, Revan segera menarik keluar penisnya dan berkata dengan kasar. “Bangsat, mulut lo lembut banget bang. Gue mau yang lebih dari ini. Lo mau nurutin gak?”
“Lanjutin permainan lo, gue… gue suka,” ujar Gerald.
Revan tak percaya dengan apa yang ia dengarkan. Terlebih, kata-kata itu keluar dari mulut sang Dominan sejati, Gerald. “A-apa? Jadi lo suka sama permainan kasar ya, bang? Suka?”
“Bener, gue suka,” jawab Gerald mantap.
“Tapi lo kan yang…”
Sebelum Revan menyelesaikan kalimatnya, Gerald segera memotongnya. “Gue budak seks lo. I am your slave,” ujar Gerald yang sudah tak tahan dengan permainan selanjutnya.
Revan masih tak dapat mencernanya. Ia tertegun sesaat. Ia tak memiliki rencana apa pun akan hal ini. Bahkan ia tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini.
“Dek, lihat tubuh abang. Apa lo gak pengen meninju abs abang yang kokoh ini? Apa lo gak pengen menampar wajah dan menjambak rambut abang? Apa lo gak kepingin menampar bokong abang ini?”
Sepertinya Revan terperdaya dengan kalimat abangnya barusan. Namun bukannya malah menyiksa, ia malah membebaskan tangannya dari kurungan borgol.
Sebenarnya apa rencananya? Apa yang ada di pikirannya? Akankah ia menyudahi permainan ini?